Wednesday, 22 April 2009

ayuhai penduka!

marilah wahai siberduka-siberduka sekelian, mari raikan kedukaan itu dengan zikir, mari raikan kedukaan itu dengan ucap syukur, raikanlah kedukaan kalian dengan mengingat hari dimana duka itu tiada, hari hilangnya segala perasaan, hari yang hanya engkau kenali adalah dirimu jua, bukan siapa di kiri atau kananmu.

Sesungguhnya kerana duka itu juga, pinjaman semata-mata.

Tuesday, 21 April 2009

Akulah sipencari duka

Aku suka bila kawan-kawan aku suka.

Aku lagi suka bila kawan-kawan aku duka.

Akulah sipencari duka.

Aku tak rasa aku cukup hebat untuk sama-sama berkongsi suka dengan kawan-kawan. Cukuplah sekadar aku memerhati dari jauh, dari dekat mahupun dari takde mana-mana pun.

Aku rasa mungkin aku akan mudah kecewa kalau aku dikalangan orang-orang yang gembira dan berjaya. Aku belum lagi berjaya. Aku tak mampu untuk bergelumang dengan siberjaya-siberjaya sekelian tanpa mungkin aku tidak merasa cemburu, sedikit mahupun banyak.

Oleh itu, akulah sipencari duka.

Duka orang mengajar aku erti syukur.

Duka orang mengajar aku erti usaha.

Duka orang mengajar aku kemanusiaan.

Duka orang mengajar aku tabah.

Akulah sipencari duka.

Saturday, 18 April 2009

Thursday, 16 April 2009

Another good day, maybe

Dear All,

It has been quite a busy weekend, weekday and many weeks for me and now, I can write again.

Life's been offering me a lot of distractions from the tiny unimportant things, allowing me to focus on what's to be done here and now. It's a fun road to traverse and I'm glad I'm here.

There are still papers on the table to be filed, those in the tray to be sorted and files to be relocated back to the filing cabinet. There's still work to be done, errors to be corrected and clients to be served. There will - until forever - be things that we can do no matter how 'thingless to do' we feel we are, for life should not end when a task is completed. It's a good thing, this thing called 'job'. It gives us a sense of what-to-do-next as compared to sitting around in the house wondering..

I however would love to one day adapt the life living in the mountains or by the sea, able to spend time with the family doing what matters most instead of hurrying in and out of the office thinking about the next client to arrive, the next payment to make and probably the next job to jump to.

I would've been a very rich man if money matters less and life more.

I'd love to work my hands on wooden planks or tree stumps or doing plumbing or even harvesting fruits, planting chillies, growing trees, flowers, feeding chicken, fishing. If money matters less and life more, I would've travelled the world with a small wagon and a trusty partner exploring the mountains, experiencing the heat. I would go hiking (now then, those Merrel shoes would do me good :)), mountain climbing, swimming and even pearl diving. I will have amassed millions and millions of stories along the way experiencing natives' lives, avoiding hungry polars or honey bears, surviving off the wild plants.

I would've been a multi millionaire of experience, if money matters less and life more.

On the other hand who's stopping me from doing all that, now?

Still, I am thankful for being alive. I have the opportunity to love and be loved, to care and be cared for, to talk, write, eat, drink, smile and to complain about the heat, although it really isn't a complain.

I just feel nice :)

Friday, 10 April 2009

Aaminkan ya..

Dengan namaMu yang Maha Agung, aku doakan agar dibuka hati sipemarah yang tegar itu untuk bertaubat kepadaMu daripada segala kesalahan yang lalu. Engkau bukakan jualah hatinya untuk beristighfar atas segala kesilapannya kepadaMu. Aku mohon agar Engkau perdalamkanlah ilmunya dan permudahkanlah pencariannya ke arah mendapat keredhaanMu.

Ya Allah, Engkau tutupkanlah perasaan riak, takbur dan egonya terhadap sesama manusia. Engkau zuhudkanlah hatinya untuk hanya Kamu. Engkau jadikanlah dia hambaMu yang taat dan patuh akan perintahMu. Sesungguhnya kesalahannya terhadapMu hanya Engkau yang mampu memaafkan.

Aku juga memohon kepadaMu ya Allah, Engkau pertemukanlah kembali hamba-hambaMu yang pernah suatu masa dahulu dizalimi dalam apa cara sekalipun oleh sipemarah ini, agar segala kesalahan sesama mereka dapat dimaafkan dan sipemarah tidak lagi disoal di akhirat kelak akan kesalahannya sesama manusia.

Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Memperkenankan Segala Sesuatu.

KepadaMu jualah Aku memohon, kepadaMu jua aku meminta dan hanya kepadaMu aku kembali. Engkau permudahkanlah urusan hamba-hambaMu dalam mendekatiMu. Tingkatkanlah keimanan kami terhadapMu, bantulah kami dalam mencari keredhaanMu, kurniakanlah kepada kami kebijaksanaan dalam menyampaikan ilmu-ilmu yang telah Engkau berikan kepada kami.

Rabbana aatina fid-unya hasanah wa fil-aakhirati hasanah wa qina 'adzaab-an-nar.
"O Lord ! Give unto us in the world that which is good and in the Hereafter that which is good and guard us from that doom of the Fire "
http://www.ummah.com/forum/archive/index.php/t-136965.html

Aamin..

Sungguh..

dan sesungguhnya jikalau begitulah keadaan manusia yang diujudkan sekarang, tidak aku ingin berada di lapisan bawahan.

Berapa lapisankah kita?

Manusia di dunia ni, yang significantnya, ada dua golongan. Ada golongan atasan, ada golongan bawahan. Yang atasan ni, dihormati, disanjung dan betapa ridiculous dan thick dan arrogant sekalipun, dimaafi. Golongan yang bawahan pula dipandang biasa, boleh bawak bercerita tapi jangan tersalah langkah! Silap langkah, dihambat, dimaki.

Aku tak paham kenapa. Kenapa perlu ada persepsi dan layanan yang pelik. Apa lebihnya yang atas melainkan wang, harta dan kekayaan? Apa kurangnya yang bawah selain darjat? Apakah perlu yang di atas di maafkan kesilapan atas konsep 'masih jahil' sedangkan yang di bawah tidak punya hak untuk dibetulkan kejahilan mereka?

Sesungguhnya yang membuatkan aku lebih kurang memahami adalah ketebalan ilmu itu sendiri di dada yang menjatuhkan hukuman, tebalkah ilmunya? Tinggikah budi pekertinya? Murnikah dirinya? Apakah tidak perlu lagi pembetulan sehinggakan sipesalah-pesalah lain layak dimarahinya sebagaimana rupa sekalipun?

Aku tertanya: Manakah perginya teguran? Manakah perginya kesabaran? Manakah hilangnya kebijaksanaan? Mantra-mantra yang sering diulang tatkala kemarahan meruwap di dalam hati yang lain, diucapkan oleh penjatuh hukuman.

Sia-sia aku rasa pengalaman aku melalui kursus 'internal customer service', 'negotiation skills' dan apa entah lagi kursus anjuran pejabat lama seandainya aku juga turut tergolong dalam lipatan yang sama.

Aku benci melihat keadaan begini berulang-ulang. Aku benci dilibatkan. Aku benci untuk mengakui. Akan tetapi dalam kebencian itu, bukanlah hak aku untuk menyatakan pendirian aku malah lebih jauh lagi untuk aku memperbetulkan. Aku hingusan. "BODOH! Kau dulu aku ajar, masakan kau boleh ajar aku sekarang?!" Tak pernah diungkap namun sebegitu terasa.

Mengapa pula ada kesabaran, hemah dan keinginan memperbetulkan sikaya yang bongkak, ignoran lagi memperlekehkan yang kau kata kau tegakkan? Mengapa kesabaran, kebijaksanaan dan hemah yang kau peragakan dikhayalak sikaya itu tidak kau amalkan tatkala kau bersama yang lain, lapisan bawahan?

Kurangkah nilai mereka? Tidak layakkah mereka untuk kesabaran kau? Lemahkah mereka untuk menerima ilmu-ilmu kau yang mungkin berlautan dalam dan bergunung tinggi?

Apakah??